Perkembangan dunia bisnis, teknologi media baru, keprofesian desain komunikasi visual, aspirasi, dan perjuangan hidup berbagai lapisan masyarakat (survival), disertai kehidupan perkotaan (urban) yang kian kompleks, telah menyebabkan lingkungan perkotaan kian dibebani berbagai permasalahan.
Kompleksitas kehidupan karena urbanisasi, tekanan ekonomi, keragaman gaya hidup (lifestyle), kepincangan sosial dan pendidikan, pluralitas dan hibriditas nilai dan norma, berbagai polusi lingkungan hidup (ekologi), dan lain-lain, telah menjadi ciri dan citra buruk perkotaan di mana pun, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Permasalahan makro seperti itu mengemuka dalam berbagai wujud dan daya ekspresi. Salah satu di antaranya tercermin dalam kuantitas dan keanekaragaman bangunan fisik, mulai dari gedung atau bangunan perkantoran, pertokoan (mal-mal), perumahan, tempat hiburan yang megah, mewah dan elite, hingga tempat-tempat serupa yang berskala sangat kecil, miskin, dan marginal.
Jurang antara si kaya dan si miskin melebar. Berbarengan dengan pertumbuhan fisik dan status kehidupan seperti itu, di perkotaan tumbuh dan berkembang berbagai bentuk media, mulai dari papan iklan berukuran raksasa (billboards) hingga poster sederhana. Pada malam hari, billboards raksasa bertaburan dengan sinar lampu sorot, sedangkan poster sederhana tenggelam dalam kegelapan.
Media promosi itu menawarkan barang fungsional, baik yang mewah dan menggoda, promosi jasa yang menggiurkan, maupun sekadar promosi barang-barang bekas atau jasa sederhana. Memerhatikan desainnya, terdapat papan iklan yang dikerjakan secara profesional oleh biro desain komunikasi visual yang bonafide dan berbiaya mahal serta memanfaatkan teknologi media mutakhir, tetapi tidak sedikit juga media promosi yang dikerjakan secara sederhana, manual, murah, dan berkualitas pas-pasan.
Dalam hal lokasinya, media promosi (papan-papan iklan) itu ditempatkan di tempat-tempat strategis dengan biaya sewa dan pajaknya yang pasti tidak murah hingga yang di lorong-lorong atau bahkan di tiang-tiang listrik dan pepohonan yang tak perlu membayar sewa dan pungutan pajak. Atau, secara prosedur, terbaca adanya papan-papan iklan yang dilakukan melalui mekanisme birokratis formal yang patuh peraturan (legal), tetapi banyak pula yang tanpa aturan alias ilegal.
Keadaan seperti itu, di satu pihak memperlihatkan terjadinya upaya-upaya kreatif dari berbagai lapisan masyarakat sebagai salah satu bentuk perjuangan hidup mereka, yang mewujud dalam keragaman kreativitas untuk mempromosikan barang jualannya, tetapi di sisi lain hal tersebut juga merupakan wujud kesemrawutan, keadaan lepas kontrol dari benda-benda promosional tadi. Keadaan demikian, disadari atau tidak akan menjadi bumerang, menjadi situasi dan kondisi yang mengganggu lingkungan perkotaan itu sendiri, menjadi semacam pencemaran (polusi) visual.
Polusi visual dan dampaknya
Polusi visual adalah keberadaan unsur-unsur visual di lingkungan kota dalam kuantitas, situasi, dan kondisi yang berlebihan sehingga menyebabkan panorama visual menjadi semrawut. Secara spesifik, panorama visual dimaksud terkait dengan keberadaan atau tata letak yang semrawut berbagai bangunan/gedung yang berbaur dengan papan-papan iklan, papan nama di pertokoan, perkantoran, tempat-tempat hiburan, dan di tempat-tempat lainnya.
Keadaan itu bercampur-aduk dengan aneka spanduk, umbul-umbul, poster, grafiti, juga tanda-tanda lalu lintas, yang terpasang di berbagai sudut atau pelosok kota. Keadaan benda-benda penanda atau promosi demikian seharusnya menambah informasi dengan baik dan teratur, tetapi yang terjadi malah membingungkan. Benda-benda visual itu bukannya memperindah jalanan kota, tetapi malah memperburuknya. Tidak lagi menyegarkan atau menyamankan orang yang melihatnya, tetapi malah menyakitkannya.
Belantara visual di Kota Bandung
Kota Bandung tampaknya cocok dijadikan contoh konkret keadaan polusi lingkungan visual seperti diutarakan di muka. Coba lihat keberadaan bangunan atau gedung-gedung yang sangat beragam dalam ukuran, gaya arsitektur, dan fungsinya di lingkungan tertentu yang sering tampak tidak selaras antara yang satu dan lainnya. Perhatikan juga jalanan Kota Bandung, baik di jalan-jalan besar (utama) maupun kecil, atau bahkan di lorong-lorong (gang-gang) kota. Orang akan melihat aneka jenis, desain, dan ukuran nama gedung (perkantoran, bank, pertokoan), billboards, spanduk, poster, dan sejenisnya.
Orang bisa menemukan penanda bangunan atau iklan-iklan itu terpasang di berbagai tempat; pada atap atau dinding gedung, di ruas jalan, di pinggir (trotoar) dan di pojok jalan, menempel pada jembatan penyebrangan, pada tembok-tembok rumah, pada tiang listrik, pada pohon-pohon besar dan kecil, dan sebagainya. Media-media iklan tersebut juga berbaur dengan tanda-tanda atau petunjuk lalu lintas. Pendek kata, ke mana pun Anda pergi di Kota Bandung, di situ terpasang media promosi. Bandung pun menjadi belantara visual.
Hal itu berarti bahwa Bandung telah menambah koleksi predikatnya. Selain dikenal sebagai kota padat penduduk, kota kemacetan lalu lintas, kota polusi udara, dan polusi suara, kini kota ini menjadi kota polusi visual.
Mengapa panorama visual tersebut menjadi polusi? Jawabannya antara lain karena secara fisik berbagai media billboards itu, misalnya, sering tidak proporsional secara ukuran ketika dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan tidak sedikit papan raksasa iklan menutupi sebagian bangunan/gedung di belakangnya. Banyak sekali daya tarik iklan lebih kuat dan tampak signifikan ketimbang tanda-tanda lalu lintas di sekitarnya.
Lebih parah lagi, pemandangan tetumbuhan dan alam luas menjadi tertutup. Akibatnya, keadaan kota terasa menyesakkan dan pengap. Ini baru hal-hal fisikal atau kasat mata, belum yang terkait dengan “isi” yang dimuat dalam papan-papan promosi itu sendiri. Jenis barang yang dipromosikan, muatan teks di dalamnya, ikon-ikon yang ditonjolkan, desain iklan itu sendiri, dan sebagainya sering membius serta tidak sedikit yang membingungkan karena tidak tepat budaya.
Hal tersebut pada gilirannya tentu akan berdampak serius terhadap berbagai aspek atau dimensi diri (mental) manusia dan kehidupan secara luas. Secara psikologis, misalnya, pencemaran visual akan berdampak pada, antara lain, ketegangan pikiran atau emosi mereka yang melihatnya. Ringkasnya, pencemaran lingkungan visual akan berdampak buruk pada segi tertentu dalam kehidupan manusia yang sering mengalami keadaan itu, seperti halnya dampak-dampak buruk akibat pencemaran-pencemaran yang lain.
Perlu pendekatan yang komprehensif
Tentu kita tidak bisa membiarkan keadaan tersebut berlangsung terus. Harus segera dilakukan pembenahan. Dan hal ini semestinya menjadi tantangan bagi Pemda Kota Bandung.
Pihak-pihak terkait dengan penataan kota perlu segera melakukan penertiban, sebelum keadaannya menjadi lebih parah. Instansi penata kota, polisi lalu lintas, biro perancang iklan, pakar lingkungan hidup, dan para ketua RW atau RT seyogianya diajak untuk berdiskusi untuk memecahkan permasalahan polusi visual ini.